Sabtu, 11 Agustus 2012

There's a great destination, right?

Kemarin, tepatnya sembilan Agustus duaribuduabelas.

Takut. Sedekit terbesit perasaan ini. Tapi untuk apa? Tak ada jawaban. Hanya diam.
Waktu terus berjalan, sampai ketika aku harus menepati janjiku. Menemaninya... Dan kembali berlomba dengan keraguan.
"Sudahlah niar, jalani saja dulu."
Malam, sebelum shubuh menjalar, malam merantap seperti peluh yang mengujur. Membuat mata tak sepenuhnya terpekur. Aku terjaga. Sampai dentang menunjuk pukul tiga pagi. Aku masih malas menuruti hati. Capai. Sekali lagi aku bingung, entah apa yang aku bingungkan. Dan pada akhirnya aku harus menyambar handukku, berlari kecil menuju kamar mandi favoritku.
Dingin mengguyurku. I'm getting cold! It's too cold.
Segayung dua gayung air di pagi buta Surabaya membuat bibirku bergetar kedinginan. Bagai menusuk tulang, tapi aku bengal. Terus saja ku guyur badan hingga selesai. Alhasil, seluruh badan yang pegal mendadak merajuk. Tapi tak lama, kemudian hangat mendekap. Baju yang ku kenakan juga lumayan membuat dingin terusir perlahan.
Ku tengok jam dindingku lagi.
Tergesaku dibuatnya. Ku masukkan apa-apa yang mungkin ku bawa. Seransel dan seselempang tas ku bawa sembari berpamitan. "Harusnya aku bisa Sahur dulu."
Tak sempat. Benar - benar tak sempat.
Aku lajukan 'merah'ku. Kencang. Surabaya dingin sekali waktu itu. Demi Tuhan, dingin.
Sekitar beberapa menit lamanya aku bertarung dengan jalanan, waktu, dan tentunya angin pagi gelap yang menyakitkan, aku bertemu dengannya. Lelakiku.
Seperti biasa, dia selalu mengomentari keterlambatanku.
Aku tak disiplin waktu. Aku tak bisa me-manage waktuku, ujarnya.
Baiklah. Aku salah. Sebenarnya memang ku sengaja, karena ini liburan kita. Kesepakatan kita. Ku fikir kita bisa santai dan tak diburu waktu seperti ketika pekerjaan merongrong kita.
Tapi entah... Mungkin karena kebiasaan disiplinnya yang luar biasa, dia terus mengomeliku.Oke, aku terima.
Sekitar tiga jam dijalanan yang dingin kita telusuri kota demi kota. Diselanya kita tertawa, marah, mengomel, bawel, riang, ngakak, dan tentu saja, aku memeluknya. Tangan lembutnya mulai merangkulku lebih erat.
Dingin sekali.
Akhirnya, kita sampai disini. Di kota kelahirannya. Kota dimana aku pernah mengasah kemampuan berbahasaku. Kota kecil, lebih tepatnya masih kabupaten yang biasa orang sebut desa. Hangat. Damai. Dan menyambut kedatangan kami dengan cerah kabutnya.
Aku lapar. Harusnya aku puasa hari itu. Tapi maaf Tuhan, aku kalah. Aku sengaja membatalkannya karena ku fikir aku sedang melakukan perjalanan jauh dan tak sempat mengisi perutku. Maklum, menjadi seorang yang tambun sedikit berbeda dengan makhluk lain yang tak oversize. Namun ku fikir hanya aku yang kelaparan, lelakiku juga merasakan hal yang sama. Mungkin karena cuaca pula.
Setelah rehat sejenak dirumah salah satu saudara dari orangtuanya, aku dan dia bergegas menyambangi warung pecel yang tak jauh dari rumah. Memesan dua porsi pecel tumpang dengan rempeyek kriuknya, kami lalu melahapnya dengan santai. Sekitar 15 menit saat kami menikmati sarapan pagi, bungsu datang menghampiri. Aku dikenalkan kepadanya oleh lelakiku. Kami bersalaman. Baik, lucu dia. Ku tawarkan untuk makan bersama kami, dia menolak. Berujar jika dia telah makan dirumah.
Waktu terus berlalu.
Aku dan lelakiku kembali ke peraduan istirahat kami. Dirumah kecil, pedesaan nan asri. Rumah budhenya kecil, tapi kurang bersih. Kami berdua membersihkan dan menatanya dengan candaan khas kami. Usainya, kami lelah. Tiduran di sofa, dan saling bercerita kembali.
Tiba saat bosan menghampiri kami...
Aku diajaknya ke sungai di sawah belakang rumah. Menyusuri pematang yang kering. Jalan setapak yang bermuara di sungai yang akan kami kunjungi. Jaraknya lumayan. Dan matahari mulai meninggi.
Sesampainya di sungai jernih itu, kami bercakap. Mengulas tentang masa lalu kami. Saling tertawa, terharu, dan memotivasi satu sama lain.
Bungsu datang riang. Aku menyukai si bungsu. Aku sudah menganggapnya adikku sendiri. Lelakiku memintanya mengangkat kamera dan memotret kami
Dan seperti ini hasilnya,


Lihat, airnya begitu bening bukan? Bagaimana dengan kami? :D
Si bungsu kembali mengatur kami, dan mendapatkan potretan kami. Aku dan lelakiku, disuatu pagi. Di sungai yang masih alami.


Setelah kami puas berpecik air. Kami bertiga. Aku, lelakiku, dan si Bungsu kembali ke rumah budhe. Tak ada rencana sebelumnya, kalau kita akan mengunjungi sebuah kolam renang. Letaknya pun tak jauh dari gubuk lelakiku. Seharusnya aku berkunjung dulu di kediamannya bukan? akan tetapi, lelakiku melarang karena di tempat berteduh keluarganya masih banyak aktivitas. Takut mengganggu, maksudnya.
Berenang.
Itu salah satu ide dari lelakiku. Dan aku beserta bungsu bergegas mengangguk. Memang. Ini adalah salah satu keinginannya dan tentu janjinya yang belum dia tepati untukku.
Aku lantas mengganti pakaianku dan mereka juga. Terik matahari, tapi hawa sejuk disana.
Tak sempat ku potret pintu masuknya, tapi kolam renang ini bersahabat sekali...
Bungsu kembali ku minta untuk memotret kami, mengabadikan kenangan kami.


Lirik saja. Kami berdua subur sekali. Segar. Dan antusias.
Ibu-begitu panggilanku terhadap Ibu lelakiku-, menyebut kami mirip. Entah, darimana kemiripannya.
Aku tak mau menyiakan kesempatan untuk berfoto dengan si Bungsu, ini dia filenya..


Bungsu terlihat senang berkenalan denganku. Aku juga. Sangat senang.
Sekitar dua jam kami bermain - main dengan air. Membuat lomba - lomba kecil hasil ide kami. Tertawa bersama. Bercerita pula.
Tuhan, jangan habiskan hari ini dulu, aku masih ingin bertukar pikiran dengan si Bungsu. Adik termuda dari lelakiku. Bukan adikku, tapi aku sudah menanggapnya seperti kandungku.
Akan aku tunjukkan lagi beberapa potret kami selama di Bramasta, Swimming Pool and Family Recreation.


Lelakiku. Minta diedit potretnya, hitamputih. Dan memang warna favoritnya. Black and White.


Aku dan lelaki. Ku gabung, agar bisa praktis jika ku tengok gambarnya. Bagaimana menurutmu? Cocok?
Hehehe...


Lagi. Lelakiku mengambil posenya. The Red Ones.
Dan dibawah ini, iseng ku ambilnya sebelum kami mandi, membersihkan diri.


Aku suka potret itu. Tak tau kenapa. Hmm.. mungkin sudah kau lihat di lembar potret sebelumnya. Aku hanya ingin memperjelas saja. Aku menyukai ini. Dan lelakiku juga :)

Kami pulang, ada potret kami yang sudah aku selipkan tadi sebelum menuju destinasi awal kami. Hitam. Kami berdua suka warna hitam.


Rumah mungil berselimut keriangan anak kecil. Aku suka anak kecil. Lelakiku apalagi. Anak kecil yang tentu saja bukan anak dari Ibu, tapi anak orang yang bersekolah di Taman Kanak - Kanak yang merangkap rumah hangat lelakiku sekeluarga. Aku tak perduli dengan huniannya. Aku begitu perduli dengan para penghuninya.

Ibu, Bapak, Chris, dan Arel. Sayang tak bisa bertemu Mbak Yanti dan Yemsi. Mereka, menyambutku gembira. Si bungsu bernama Arel. Adik kedua pas dibawah lelakiku, si Chris. Si jago berbahasa inggris juga tak luput menyalamiku walau dengan sakit dan kepayahan. Aku senang bertemu mereka. Banyak hal yang ku ceritakan, banyak hal yang mereka juga ungkapkan. Banyak momen yang tak akan pernah aku lupakan suatu hari nanti.

Tuhan telah menulis jodoh dari setiap makhlukNya. Aku dan lelakiku, hanya yakin dan percaya saja. Bahwa disetiap perih dan luka yang pernah kami alami ada hikmah dibaliknya. Aku tak pernah tau pertemuan kami ketika dulu. Aku tak pernah menyangka jika kami mampu berkomunikasi, nyambung, dan saling berbagi. Kami lelah berbohong. Kami lelah munafik. Kami lelah terus menerus disakiti oleh pasangan - pasangan kami terdahulu. Kami lelah melihat pasangan - pasangan kami yang tak pernah mengerti. Tak pernah bersimpati. Dan tak pernah tulus menyayangi. Baik kami sendiri, maupun keluarga kami. Satu sama lain.

Aku dan lelakiku saling mengisi. Aku menjadi pendengarnya saat ia berkeluh. Begitu pula sebaliknya, ketika aku mencurahkan kegundahanku, ia selalu menjadi pendengar dan seorang pemerhati yang sempurna. Lebih dari baik.

Harapan. Tidak hanya menjadi sebuah harapan saja.

Tidak ada salahnya ketika kami saling berharap kehadirat Tuhan, kami memang dipertemukan untuk mengadu hidup bersama. Menyalin cerita di setiap jam berdua. Dan kelak meresmikannya, merajut hidup hingga tua dan ajal menjemput.

Tuhaaann... Salahkah kami?

Aku menanti jawabanMu, Tuhan. Takkan kami sia - siakan kesempatanMu.
Ameeenn..
Allahumma Ammeenn..

Pare, Kediri, East Java.
19th August '12
Sebuah catatan klasik dan memori untuk pengingat di masa mendatang.
Love,
Daniel Arianto Wahono dan Yaniar Halimatus Sakdiyah


Selasa, 20 Desember 2011

Sebuah Renungan Pribadi



I

Ketika aku tertegun ,

Menghempas pelukan dari Sang Penegur ...

Aku.

Beberapa hari ini, hitungan bulan, dan tahun – tahun terakhir ,

Sedikit tak perduli.

Maaf. Bukan sedikit.

Tapi terlalu banyak hingga tak dapat ku lilit.



Hanya memikirkan seraut wajah culas.

Mengkhayal dapat melihatnya terjungkal memelas.

Karna ini.

Aku semakin membodohi raga hina tak sempurna.

Juga jiwa otak yang masih bernyawa.



II

Sekarang ..

Aku bersujud, menangis, mengerang



Sangsi ku lagi – lagi ,

Bulan berkah tlah lewat melintang.

Usai.

Tak berharap aku tersudut menanti ridlo yang gemulai.



III

Mana syukurku padaMu ?

Aku hanya meniru menyeru takbir kala itu …

Tapi sama sekali aku tak bergetir ,

Sampai pada pagi cerah yang tak buat nurani tersingkir.

Aku malu, Tuhan ..



Aku ini manusia, Sang Maha Segalanya …

Begitu tak bisanya aku menghitung kekacauan yang kuukir.



Tuhan …

Aku ingin sekali berkata padaMu.

Ingin sekali aku mengutarakannya.

Ku fikir lagi. Tak usahlah.

Toh Kau Maha Tahu semua isi hati hambaMu.



Aku rindu engkau, Rabbku …

Sangat rindu …



Betapa besar harapanku menuju hadiratMu.



Selayak lebah linglung yang butuh seteguk madu.

Madu murni dari kelopak bunga surgaMu …

Selasa, 13 Desember 2011

This i called a Nice Trip! :)

Nah, ini adalah beberapa hari yang lalu.
tepatnya Sabtu, 10 Desember 2011

Mulanya saya yang berniat travelling sama salah satu sahabat saya, Si mbak Aini yang sukanya dipanggil Nonii hehe ke Pemandian Air Panas, Cangar. Tapi yah... karena memang teman - teman sekelas saya pada kompak sampailah kita disini. Di ujung perbukitan kota Batu, Malang. Salah satu destinasi wisata favorit ketika berada di kota ber-ikon Apel dan Susu ini.


Kami mengunjunginya ber delapan. Saya, Aini, Dhita, Somad, Sita, Anggit, Mukti, dan Iping. Satu Xenia penuh dengan kami *LOL* saya bahagia sekali ketika itu. Tau kenapa? Karena sering sekali teman" berencana berkelana bareng tapi selalu batal karen alasan" yang gak jelas. Dan sekarang, akhirnya terwujud juga :)

Seperti inilah, diantaranya wajah mereka
Somad, anggit, iping

Dhita, Shita

Aini, Somad

Mukti
DAN TENTUNYA SAYA :)

Saya gak sempat banyak mengabadikan momen" disana. Anak" terlalu sibuk menikmati sejuk dinginnya tempat wisata itu. Saat itu memnag hujan gerimis melanda. Dan dengan polosnya saya, anggit, dan iping menjeburkan dirir ke kolam renang. Dan yah! Kau tau pasti betapa menggigilnya tubuh kami kala masuk air pegunungan pertama kali. Namun ajaib, setelahnya badan serasa diselimuti selimut tebal nan hangat.

Sebenarnya masih banyak foto yang ingin saya upload disini. Tapi sebagian file ada di kamera teman saya. Jadi, apa boleh buat nanti kalau saya sudah mendapatkan filenya pasti akan saya upload kembali di sini.

Hey, saya lupa menceritakan sesuatu di liburan weekend kami kali ini. Sejujurnya memang menyenangkan, tapi ada sesuatu yang menyebalkan waktu itu. ADA TAMU TAK DIUNDANG! YAH, SAYA SANGAT TIDAK SUKA DENGANNYA. BAHKAN KEDUANYA.

Okelah, saya tidak akan membahas terlalu dalam mengenai ini. Tapi saya yakin, kau pasti tau siapa yang saya maksud.

Dan, inilah liburan kami. Akan kami ulangi lagi bulan depan. Berbeda tempat? Jelas! Karena kami orang Pariwisata yang memang suka menikmati Alam Indonesia...




Surabaya, beberapa jam sebelum tanggal 151211

Minggu, 04 Desember 2011

Ibu. Tak habis kata untukmu..

Surabaya, Kota Pahlawan dengan berjuta Pahlawan didalamnya,
04 Desember 2011


Teruntuk obat segala laraku,
Segala penawar dalam kejenuhanku,
Segala penyejuk dalam kesempitan masalahku...


Ibu,
Sepucuk surat tak bermakna ini ku persembahkan untukmu. Sungguh tiada berarti bagimu. Tapi setidaknya sedikit pertunjukkan agar kau tau betapa aku mencintaimu.


Sewaktu itu aku melihatmu tergeletak. Aku lelah sepulang dari kerja penatku. Ibu, aku tak tahu apa yang terjadi denganmu. Satu kesalahan ketika itu adalah aku mengabaikan teleponmu di ponselku maghrib tadi. Aku sedang di jalan, bu. Tak baik mengganggu konsentrasi ketika di jalanan yang tentu saja kau tau betapa sesaknya. Ku coba tenangkan diri dan mendekatimu seraya meminta maaf atas tak hiraukannya panggilanmu. Namun kau malah tersedu memelukku.


Hari itu kau ketakutan karena penyakitmu. Ibuku, aku yang lebih takut seharusnya. Takut ketika aku melihat raut keriput di wajahmu yang kian menyeruak. Takut ketika suatu saat aku harus rela melepasmu karena Allah menginginkanmu kembali ke pelukan abadinya. Takut ketika aku tak dapat lagi memberimu senyum yang selalu kau tebarkan di hari - hari sunyiku. Ibu, aku terlalu takut kehilanganmu...


Cahaya hatiku,
Demi Allah... Jangan biarkan aku menyesal seumur hidupku karena tak bisa membuatmu bangga pernah melahirkan anak sepertiku. Aku ini tak pernah bisa mengerti apa keinginanmu. Tak dapat mengetahui sejauh apa cinta tulusmu itu untukku. Aku ini anak macam apa. Tapi Ibu, sejujurnya aku tak mampu menyembunyikan perasaan cintaku yang teramat padamu. 


Sungguhpun aku ingin bersujud meminta maafmu, bu.
Aku tak kuasa menahan segala gejolak cinta dalam benakku di pangkuan semestamu. Di pelukan hangatmu itu. Begitu banyak torehan dosa yang ku lukis di kalbumu. Aku tau itu sangat sakit. Terkoyak dan perih. Aku rapuh bu, seandainya kau tau. Dan bodohnya aku yang telah melakukannya dengan sadar padamu saat itu. 


Gusti...
Ampuni dosa Ibuku... Ayahku... Dan semua orang - orang yang ku sayangi.


Aku tak dapat berbuat banyak selayak engkau, Penyembuh Laraku.


Hanya beberapa tingkah yang akupun ingin kau liat bagaimana aku melakukannya. Benar - benar munafik orang sepertiku, bu. Tapi aku buah hatimu. Aku ingin sekali berada dalam dekapanmu seperti bayi dulu. Berada dalam rahim hangatmu ketika masih bersemayam orokku. Dan Ibu, lagi - lagi aku tak dapat membalas sepadan dengan apa yang kau kasih dulu.


Kini aku beranjak dewasa bu. Dan kelak aku juga akan menjadi seorang Ibu sepertimu. Menjadi sosok orangtua perempuan yang selalu dan selalu akan memberi kasih sayang untuk buah hatinya. Tapi bisakah aku berlaku baik dan seadil dirimu?


Ibu...
Aku menyesal sekali kala ku ingat segala apa yang pernah aku lakukan padamu.
Amat menyesal...


Apa yang harus ku lakukan untuk tebusan ampunanku bu? Ridho Allah ada padamu... Kemarahanmu adalah       luka bagiku. Dan akan menjadi tamparan keras Tuha untukku bu... Maafkan aku.


Aku tak ingin kehilanganmu bu. Sama sekali tak pernah siap jika kau harus memenuhi panggilan Allah nanti. Siapa yang akan meneguhkanku? Siapa yang akan mendukungku kala aku lelah? Siapa yang nanti memberiku semangat ketika aku tak mampu lagi berjalan? Siapa tempat labuhan tangisanku bu? Siapa?


Astaghfirullahaladzim...


Tak sanggup rasanya kalau saat menyedihkan itu datang. Bertubi - tubi. Allah... Apa aku mampu menyambung hidupku tanpa Ibu lagi? Ya Robbana... Kuatkan aku sepertinya yang selalu kuat kala cobaan menerpa. Aku lemah, Gusti...


Tak ada sesuatupun yang berkesan selain belaian sayangmu, bu.
Tiada satupun di dunia ini.


Ibu,
Tak akan ada yang dapat menggantikanmu di hatiku. Selalu di lubuk nurani.






                                                                                                       Anak nakalmu,
                                                                                                       Adinda kecil mungilmu.

Rabu, 30 November 2011

Adikku. KAU MALANG SEKALI!

Sebuah dedikasi untuk umiku... Cahayaku, Syurgaku dan Hidupku...

Sudah beberapa hari ini rumahku hening. Tak ada keramaian omelan sayang dari Ibuku. Entah kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda setelah pertengkaran hebat dengan adikku. Tanpa kesengajaan. Hanya permasalahan sepele. Tak terlalu besar.

Namun entah apa yang menyebabkan segalanya berubah. Ini adalah penghujung November. Dan sebulan lagi akan menjadi bulan terakhir dimana tahun ini akan digulung rapi dan tersimpan dalam lemari kehidupan. Yang mana tak ada seorang pun yang dapat mengulur dan mengembalikannya meski hanya sebentar.

Tuhan...
Aku yakin dan percaya semua rencanaMu. Aku ini apa? Hanya bulu halus di tengah samudra buatanMu. Hanya seonggok daun kering yang tertiup semilir topanMu. Beri aku sedikit bisikan kekuatan untuk segala masalah yang kau suguhkan untukku.

Tepatnya, Senin 28 November 2011.
Aku melihat Ibuku tertunduk sesenggukan. Ada apa gerangan? Aku belum sempat bertanya padanya. Sementara aku masih sibuk merapikan meja kerjaku. Me-shutdown lembaran elektronik serta tombol - tombolnya yag senantiasa menemani kesepianku. Dikala stugas kantor menyerangku bertubi - tubi. Dengannyalah, aku bisa berimajinasi. Berkeliling ke alam yang ku ciptakan sendiri.

Ayah menghampiriku,
"Coba tanya Ibumu kenapa itu? Kok nangis?" Tanya beliau padaku.
"Sebentar yah... Ini mau selesai." Sahutku
"Memang ada apa toh, orang tadi kan baik - baik aja yah?" tanyaku menimpali ayahku lagi.
"Lah iya, sana ditanya ada masalah apa." jawabnya
"Iya..."

Aku berjalan lenggang di seberang kamarku. Sebuah kamar pribadi orang tuaku. Disana ku temukan Ibuku menangis sesenggukan. Aku mendekatinya. Pelan - pelan aku mempertanyakan perihal apa yang telah mengganggu hatinya. Diam. Hanya diam respon yang ia beri untukku. Aku semakin tak mengerti apa yang telah menimpa cahaya hidupku ini. Ibu... bicaralah, aku anakmu. Tetap senyap. Bergeming.

Sudah beberapa menit berlalu ketika aku duduk disampingnya dan mencoba bertanya tapi nihil. Aku tak menemukan jawaban. Mungkin karena terlalu lama menunggu, Ayahku menyambar masuk ke dalam kamarnya itu. Mendesak Ibu untuk menceritakan permasalahan yang terjadi. Kali ini Ibu bersuara. Aku bisa menyimpulkan apa yang sedah ia gundahkan.

Kau tau, ini karena adikku. Ya... Adik semata wayangku. Aku hanya hidup berdua dengannya. Dua bersaudara. Apalagi kebanggaan orangtua selain melihat anaknya bahagia? Begitu pula orang tuaku. Apapun akan mereka lakukan demi buah hati mereka. Dua. Cukup itu. Bagi mereka, tak ada kebahagiaan yang terindah ketika dapat menyenangkan anak mereka, memenuhi kebutuhan dan apa yang selalu anak inginkan.

Oh Ibuku...

Betapa kejamnya hati orang yang menyakitimu. Aku sulungmu bu. Aku kenal sekali siapa engkau dan apa yang membuatmu senyum dan membisu. Adikku ini mungkin hanya cobaanmu. Lihat bagaimana nanti Tuhan mengadili ketulusanmu.

Adikku nakal sekali. Entah. Mungkin ia terdiktator sesuatu yang membuatnya membangkang, sehingga tak pernah menuruti keinginan terbaik orangtua. Sebenarnya ia bukan gadis seperti itu. Aku sangat tau ia sedari bayi merah hingga berseragam yang membuat orangtuaku bangga. Akan tetapi ia telah beranjak remaja. Suatu masa yang dulu aku pun mengalaminya. Sulit untuk memahami kondisi pada level ini. Kebanyakan mereka yang mencapainya menganggap segala tindakan yang mereka lakukan benar. Itu menurut mereka. Dan faktanya, hampir dari prosentase menyatakan salah. Aku pun sering sekali menemukan titik kesalahanku di masa sekarang, ketika aku mengingat hal - hal yang berbau keremajaan.

Fatalnya, sekarang ia minggat. Dua hari ia tidak tidur di kamarnya yang bersebelahan dengan ruang kerjaku. Adikku... apa yang ada di fikiranmu? Ada berita dari salah satu karibnya, ia mengenal lelaki yang tidak jelas melalui jejaring sosial. Lagi - lagi kasus yang sama. Seperti pemberitaan di tv beberapa bulan lalu. Aku dan keluarga hanya mencemaskan keadaan adikku. Semoga ia tak bernasib sama dengan gadis - gadis seumurannya dlm berita itu. Aku selalu berharap Tuhan menjaganya.

Dan sekarang, hanya kurang beberapa jam memasuki bulan baru di penghujung tahun. Aku tak tahu kapan adikku pulang merasakan hangatnya keluarga lagi. Jangan bertanya mengapa kami tak mencarinya. Kami sudah lelah. Letih untuk usaha kami yang tak dihargai dan selalu diulangi berkali - kali.

Keluarga hanya berharap yang terbaik. Ibu, sudah hentikan keluh kesahmu. Biarkan alam yang memberinya pelajaran. Biar Tuhan yag memeliharanya. Berdoalah bu... Semoga adik masih mengingatmu sebagai Ibundanya. Jika ia ingin merasakan panasnya Jahannam, jangan lagi kau berdoa untuknya.

Aku disini, di detik terakhir November. Menjaga Desember agar menjadi bulan senyum untukmu bu. Ingat. Aku masih hartamu. Doaku selalu untukmu, Cahaya Keabadianku...


Selasa, 29 November 2011

Remahan Roti Coklat

Jam dinding kamar menunjukkan pukul sepuluh lewat sembilan belas menit. Di luar hujan masih saja turun dengan derasnya. Angin yang menerobos masuk melalui kisi-kisi terasa dingin menusuk kulit. Piyama yang melekat di tubuhku tidak banyak membantu menahan dingin sehingga agar lebih hangat kembali lagi ku pakai jaket tebal pemberian dari Ayahku. Agak menolong, memang.


Akan tetapi, kantuk hebat datang. Padahal besok aku harus bangun lebih pagi. Akhirnya, daripada melamun tidak menentu, kuputuskan akan melanjutkan membaca dan mengambil camilan sisa tadi siang. Sebungkus kraker coklat kesukaanku.


Sebentar … Aku baru kali ini mengunyah sepotong roti biskuit renyah yg ku dapati sudah tergerogoti. Dalam hati aku bergumun, aku berbagi makanan ini dengan siapa? Aku hanya mencicipinya beberapa potong sepulang sekolah. Oh, atau mungkin kakakku yang iseng masuk kamarku dan mengambilnya sebagian. Aku tau, dia mempunyai selera yang sama denganku. Aku menyudut. Pojokan kamarku mampu menampung air mataku yg tak sengaja tumpah. Atau mungkin sengaja ku biarkan keluar. Bulir ini jatuh bukan karena berkurangnya roti ini, akan tetapi ketika aku mengingat remuknya kisah hati.


Aku kembali ke meja belajar lamaku, kunyalakan kembali lampu belajar dan mulai membaca sambil duduk bersandar di kursi. Dengan masih ada basah di pipi yang sudah ku lap tadi, aku membaca karangan dari Pramoedya Ananta Toer. Kado darimu setahun yang lalu. Dentang jam berlalu tak terasa. Tiba-tiba kantuk hebat datang menyerang. Belum selesai kalimat yang sedang kubaca, buku yang kupegang terlepas dari tangan.


Berbaring ke peraduan ranjang reyot ukuran sekitar 2mx3m yang diletakkan sejajar dengan meja belajarku. Menerawang ke atas atap kotor dengan penuh jejaring laba - laba di sampingnya, disitu tertancap pula neon 20 watt menerangi keseluruhan kamarku, aku memikirkanmu lagi. Pertama ku jumpa, sangat jauh dari bayangku yang akhirnya kau menjaga jarak . Seperti deretan mobil di parkiran malam itu.


Ku raih kembali kraker favoritku yang belum ku habiskan. Kres kres kres. Aku tak perduli rasa pahit dari serpihan kue ini, karna ku yakin setelahnya akan manis di lidah. Tapi kemudian, aku salah menduga. Teringat kecupan hormatku di tanganmu menjadi awal & (harus) berubah menjadi akhir yang tak bahagia. Seperti rasa roti yang kering ini.


Ingin sekali aku pejamkan mataku, tapi baling - baling kipas angin kecilku seolah ikut diam. Melirikku tajam. Padahal kantuk yang teramat telah menghinggap saat waktu membaca tadi. Entah kenapa sekarang lenyap tak bersisa. Ampun rasanya. sudah lebih dari cukup aku menjilati sisa remahan rotiku, roti yg terbuat dari susu, coklat & madu. Seakan pahit rasanya di rongga mulutku.


Aku sudah lelah berusaha mencari tahu 'mengapa kau tak manis seperti dulu'. Tapi percuma. Remah rotiku hanya diam terpaku. Ku singkirkan ia di sudut pintuku. Ku harap jangan lagi kau kembali padaku dan memberikan kepalsuanmu. Cukup. Dan aku menutup kelopak mataku untuk merajut mimpi tanpa gangguanmu. Terima kasih.

ini Bali dan kami pemiliknya!

Sekitar dua minggu yang lalu kami (Keluarga Besar Pariwisata 2009-2010) mendapatkan surprise yang luar biasa dari para dosen pembimbing mata kuliah kami. Maaf, maksud saya bukan surprise, tapi hal yang sudah direncanakan sebelumnya. Waktu itu saya sempat pesimis kalau saja perihal ini batal begitu saja.

Kami mengunjungi suatu tempat wisata yang fenomenal. Maksud saya, yang takkan pernah ada habisnya. Semua orang di penjuru dunia tau, bahwa Bali adalah Surga Indonesia. Meski banyak tempat wisata baru lain yang tak kalah cantiknya, tetapi Bali akan tetap selalu menjadi destinasi favorit siapapun yang tengah berada di Republik tercinta ini.

       Quicksilver Cruise

Kali ini kami mengunjungi Pulau Nusa Penida melalui Quicksilver Cruise. Dengan mengangkat Tagline "The Jewel of Bali" Kapal pesiar ini mampu menyedot ribuan wisatawan untuk berkunjung di salah satu pulau kecil nan eksotis itu. 


Lama perjalananya sekitar 45 menit. Berbagai macam disuguhkan oleh awak Quicksilver ini. Kami lebih suka menikmati alam dan keindahan lautnya.

    Salah satu aktivitas yang dilakukan di Mega Pantoon.

Nantinya, kapal ini akan merapat ke Mega Pantoon dengan 2 lantai yang berada dekat dengan Pulau Nusa Penida. Inilah Pantoon terbesar diantara beberapa kapal pesiar yang ada di Bali. Menakjubkan! Disini banyak tersedia fasilitas" yang diperuntukkan bagi para pengunjung dan pengguna Quicksilver Cruise. Diantaranya: Snorkeling, Scuba Diving, Banana Boat, Semi Submarine, Waterslide, Ocean Spa, Jetski, dan Fish Feeding. Begitu menarik bukan?
Kami tidak sempat berfoto ria ketika bermain snorkeling, banana boat dan waterslide. Hanya beberapa ketika kami berada di Pulau Nusa Penida dan di semi Submarinenya. Berikut akan saya perlihatkan beberapa dokumentasi yang berhasil saya simpan sebagai kenang - kenangan.

      Bersama teman" ketika berada di submarine

    Pemandangan ikan" di dasar laut terlihat ketika kami masih berada di submarine

   Saya. Tak terlalu jelas fotonya hehe :p

    Teman" tercinta (masih) di dalam submarine 

    Saya. Belum sepenuhnya siap sudah di cekrik saja :))

   Menu Lunch Buffet. Ini tidak semuanya sempat saya potret. Masih banyak lagi.

   Yang ini adalah transportasi menuju ke Pulau Nusa Penida transfer dari Mega Pantoon

   Kawan terbaik saya! Menikmati posenya kala di pesisir Nusa Penida

Benar - benar pengalaman yang tak terlupakan bagi kami. Saya sempat mengobrol dengan salah satu pengunjung dan penikmat fasilitas Quicksilver ini, sayangnya tidak ada dokumentasi antara saya dengannya. Mungkin ada tetapi filenya di Pak Harun selaku Tour Leader kami ketika itu. Kebanyakan memang orang" Etnis chinesse yang mengunjungi Pulau tersebut.
Dan inilah, akhir dari perjalanan kami menyusuri Pulau Nusa Penida dengan Quicksilver Cruise sebagai pendampingnya.
  Saya. Sebelum kembali ke bus dan kembali ke Hotel tempat saya dan kawan" menginap :)


Bali, 15 November 2011