Sabtu, 11 Agustus 2012

There's a great destination, right?

Kemarin, tepatnya sembilan Agustus duaribuduabelas.

Takut. Sedekit terbesit perasaan ini. Tapi untuk apa? Tak ada jawaban. Hanya diam.
Waktu terus berjalan, sampai ketika aku harus menepati janjiku. Menemaninya... Dan kembali berlomba dengan keraguan.
"Sudahlah niar, jalani saja dulu."
Malam, sebelum shubuh menjalar, malam merantap seperti peluh yang mengujur. Membuat mata tak sepenuhnya terpekur. Aku terjaga. Sampai dentang menunjuk pukul tiga pagi. Aku masih malas menuruti hati. Capai. Sekali lagi aku bingung, entah apa yang aku bingungkan. Dan pada akhirnya aku harus menyambar handukku, berlari kecil menuju kamar mandi favoritku.
Dingin mengguyurku. I'm getting cold! It's too cold.
Segayung dua gayung air di pagi buta Surabaya membuat bibirku bergetar kedinginan. Bagai menusuk tulang, tapi aku bengal. Terus saja ku guyur badan hingga selesai. Alhasil, seluruh badan yang pegal mendadak merajuk. Tapi tak lama, kemudian hangat mendekap. Baju yang ku kenakan juga lumayan membuat dingin terusir perlahan.
Ku tengok jam dindingku lagi.
Tergesaku dibuatnya. Ku masukkan apa-apa yang mungkin ku bawa. Seransel dan seselempang tas ku bawa sembari berpamitan. "Harusnya aku bisa Sahur dulu."
Tak sempat. Benar - benar tak sempat.
Aku lajukan 'merah'ku. Kencang. Surabaya dingin sekali waktu itu. Demi Tuhan, dingin.
Sekitar beberapa menit lamanya aku bertarung dengan jalanan, waktu, dan tentunya angin pagi gelap yang menyakitkan, aku bertemu dengannya. Lelakiku.
Seperti biasa, dia selalu mengomentari keterlambatanku.
Aku tak disiplin waktu. Aku tak bisa me-manage waktuku, ujarnya.
Baiklah. Aku salah. Sebenarnya memang ku sengaja, karena ini liburan kita. Kesepakatan kita. Ku fikir kita bisa santai dan tak diburu waktu seperti ketika pekerjaan merongrong kita.
Tapi entah... Mungkin karena kebiasaan disiplinnya yang luar biasa, dia terus mengomeliku.Oke, aku terima.
Sekitar tiga jam dijalanan yang dingin kita telusuri kota demi kota. Diselanya kita tertawa, marah, mengomel, bawel, riang, ngakak, dan tentu saja, aku memeluknya. Tangan lembutnya mulai merangkulku lebih erat.
Dingin sekali.
Akhirnya, kita sampai disini. Di kota kelahirannya. Kota dimana aku pernah mengasah kemampuan berbahasaku. Kota kecil, lebih tepatnya masih kabupaten yang biasa orang sebut desa. Hangat. Damai. Dan menyambut kedatangan kami dengan cerah kabutnya.
Aku lapar. Harusnya aku puasa hari itu. Tapi maaf Tuhan, aku kalah. Aku sengaja membatalkannya karena ku fikir aku sedang melakukan perjalanan jauh dan tak sempat mengisi perutku. Maklum, menjadi seorang yang tambun sedikit berbeda dengan makhluk lain yang tak oversize. Namun ku fikir hanya aku yang kelaparan, lelakiku juga merasakan hal yang sama. Mungkin karena cuaca pula.
Setelah rehat sejenak dirumah salah satu saudara dari orangtuanya, aku dan dia bergegas menyambangi warung pecel yang tak jauh dari rumah. Memesan dua porsi pecel tumpang dengan rempeyek kriuknya, kami lalu melahapnya dengan santai. Sekitar 15 menit saat kami menikmati sarapan pagi, bungsu datang menghampiri. Aku dikenalkan kepadanya oleh lelakiku. Kami bersalaman. Baik, lucu dia. Ku tawarkan untuk makan bersama kami, dia menolak. Berujar jika dia telah makan dirumah.
Waktu terus berlalu.
Aku dan lelakiku kembali ke peraduan istirahat kami. Dirumah kecil, pedesaan nan asri. Rumah budhenya kecil, tapi kurang bersih. Kami berdua membersihkan dan menatanya dengan candaan khas kami. Usainya, kami lelah. Tiduran di sofa, dan saling bercerita kembali.
Tiba saat bosan menghampiri kami...
Aku diajaknya ke sungai di sawah belakang rumah. Menyusuri pematang yang kering. Jalan setapak yang bermuara di sungai yang akan kami kunjungi. Jaraknya lumayan. Dan matahari mulai meninggi.
Sesampainya di sungai jernih itu, kami bercakap. Mengulas tentang masa lalu kami. Saling tertawa, terharu, dan memotivasi satu sama lain.
Bungsu datang riang. Aku menyukai si bungsu. Aku sudah menganggapnya adikku sendiri. Lelakiku memintanya mengangkat kamera dan memotret kami
Dan seperti ini hasilnya,


Lihat, airnya begitu bening bukan? Bagaimana dengan kami? :D
Si bungsu kembali mengatur kami, dan mendapatkan potretan kami. Aku dan lelakiku, disuatu pagi. Di sungai yang masih alami.


Setelah kami puas berpecik air. Kami bertiga. Aku, lelakiku, dan si Bungsu kembali ke rumah budhe. Tak ada rencana sebelumnya, kalau kita akan mengunjungi sebuah kolam renang. Letaknya pun tak jauh dari gubuk lelakiku. Seharusnya aku berkunjung dulu di kediamannya bukan? akan tetapi, lelakiku melarang karena di tempat berteduh keluarganya masih banyak aktivitas. Takut mengganggu, maksudnya.
Berenang.
Itu salah satu ide dari lelakiku. Dan aku beserta bungsu bergegas mengangguk. Memang. Ini adalah salah satu keinginannya dan tentu janjinya yang belum dia tepati untukku.
Aku lantas mengganti pakaianku dan mereka juga. Terik matahari, tapi hawa sejuk disana.
Tak sempat ku potret pintu masuknya, tapi kolam renang ini bersahabat sekali...
Bungsu kembali ku minta untuk memotret kami, mengabadikan kenangan kami.


Lirik saja. Kami berdua subur sekali. Segar. Dan antusias.
Ibu-begitu panggilanku terhadap Ibu lelakiku-, menyebut kami mirip. Entah, darimana kemiripannya.
Aku tak mau menyiakan kesempatan untuk berfoto dengan si Bungsu, ini dia filenya..


Bungsu terlihat senang berkenalan denganku. Aku juga. Sangat senang.
Sekitar dua jam kami bermain - main dengan air. Membuat lomba - lomba kecil hasil ide kami. Tertawa bersama. Bercerita pula.
Tuhan, jangan habiskan hari ini dulu, aku masih ingin bertukar pikiran dengan si Bungsu. Adik termuda dari lelakiku. Bukan adikku, tapi aku sudah menanggapnya seperti kandungku.
Akan aku tunjukkan lagi beberapa potret kami selama di Bramasta, Swimming Pool and Family Recreation.


Lelakiku. Minta diedit potretnya, hitamputih. Dan memang warna favoritnya. Black and White.


Aku dan lelaki. Ku gabung, agar bisa praktis jika ku tengok gambarnya. Bagaimana menurutmu? Cocok?
Hehehe...


Lagi. Lelakiku mengambil posenya. The Red Ones.
Dan dibawah ini, iseng ku ambilnya sebelum kami mandi, membersihkan diri.


Aku suka potret itu. Tak tau kenapa. Hmm.. mungkin sudah kau lihat di lembar potret sebelumnya. Aku hanya ingin memperjelas saja. Aku menyukai ini. Dan lelakiku juga :)

Kami pulang, ada potret kami yang sudah aku selipkan tadi sebelum menuju destinasi awal kami. Hitam. Kami berdua suka warna hitam.


Rumah mungil berselimut keriangan anak kecil. Aku suka anak kecil. Lelakiku apalagi. Anak kecil yang tentu saja bukan anak dari Ibu, tapi anak orang yang bersekolah di Taman Kanak - Kanak yang merangkap rumah hangat lelakiku sekeluarga. Aku tak perduli dengan huniannya. Aku begitu perduli dengan para penghuninya.

Ibu, Bapak, Chris, dan Arel. Sayang tak bisa bertemu Mbak Yanti dan Yemsi. Mereka, menyambutku gembira. Si bungsu bernama Arel. Adik kedua pas dibawah lelakiku, si Chris. Si jago berbahasa inggris juga tak luput menyalamiku walau dengan sakit dan kepayahan. Aku senang bertemu mereka. Banyak hal yang ku ceritakan, banyak hal yang mereka juga ungkapkan. Banyak momen yang tak akan pernah aku lupakan suatu hari nanti.

Tuhan telah menulis jodoh dari setiap makhlukNya. Aku dan lelakiku, hanya yakin dan percaya saja. Bahwa disetiap perih dan luka yang pernah kami alami ada hikmah dibaliknya. Aku tak pernah tau pertemuan kami ketika dulu. Aku tak pernah menyangka jika kami mampu berkomunikasi, nyambung, dan saling berbagi. Kami lelah berbohong. Kami lelah munafik. Kami lelah terus menerus disakiti oleh pasangan - pasangan kami terdahulu. Kami lelah melihat pasangan - pasangan kami yang tak pernah mengerti. Tak pernah bersimpati. Dan tak pernah tulus menyayangi. Baik kami sendiri, maupun keluarga kami. Satu sama lain.

Aku dan lelakiku saling mengisi. Aku menjadi pendengarnya saat ia berkeluh. Begitu pula sebaliknya, ketika aku mencurahkan kegundahanku, ia selalu menjadi pendengar dan seorang pemerhati yang sempurna. Lebih dari baik.

Harapan. Tidak hanya menjadi sebuah harapan saja.

Tidak ada salahnya ketika kami saling berharap kehadirat Tuhan, kami memang dipertemukan untuk mengadu hidup bersama. Menyalin cerita di setiap jam berdua. Dan kelak meresmikannya, merajut hidup hingga tua dan ajal menjemput.

Tuhaaann... Salahkah kami?

Aku menanti jawabanMu, Tuhan. Takkan kami sia - siakan kesempatanMu.
Ameeenn..
Allahumma Ammeenn..

Pare, Kediri, East Java.
19th August '12
Sebuah catatan klasik dan memori untuk pengingat di masa mendatang.
Love,
Daniel Arianto Wahono dan Yaniar Halimatus Sakdiyah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar