Rabu, 30 November 2011

Adikku. KAU MALANG SEKALI!

Sebuah dedikasi untuk umiku... Cahayaku, Syurgaku dan Hidupku...

Sudah beberapa hari ini rumahku hening. Tak ada keramaian omelan sayang dari Ibuku. Entah kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda setelah pertengkaran hebat dengan adikku. Tanpa kesengajaan. Hanya permasalahan sepele. Tak terlalu besar.

Namun entah apa yang menyebabkan segalanya berubah. Ini adalah penghujung November. Dan sebulan lagi akan menjadi bulan terakhir dimana tahun ini akan digulung rapi dan tersimpan dalam lemari kehidupan. Yang mana tak ada seorang pun yang dapat mengulur dan mengembalikannya meski hanya sebentar.

Tuhan...
Aku yakin dan percaya semua rencanaMu. Aku ini apa? Hanya bulu halus di tengah samudra buatanMu. Hanya seonggok daun kering yang tertiup semilir topanMu. Beri aku sedikit bisikan kekuatan untuk segala masalah yang kau suguhkan untukku.

Tepatnya, Senin 28 November 2011.
Aku melihat Ibuku tertunduk sesenggukan. Ada apa gerangan? Aku belum sempat bertanya padanya. Sementara aku masih sibuk merapikan meja kerjaku. Me-shutdown lembaran elektronik serta tombol - tombolnya yag senantiasa menemani kesepianku. Dikala stugas kantor menyerangku bertubi - tubi. Dengannyalah, aku bisa berimajinasi. Berkeliling ke alam yang ku ciptakan sendiri.

Ayah menghampiriku,
"Coba tanya Ibumu kenapa itu? Kok nangis?" Tanya beliau padaku.
"Sebentar yah... Ini mau selesai." Sahutku
"Memang ada apa toh, orang tadi kan baik - baik aja yah?" tanyaku menimpali ayahku lagi.
"Lah iya, sana ditanya ada masalah apa." jawabnya
"Iya..."

Aku berjalan lenggang di seberang kamarku. Sebuah kamar pribadi orang tuaku. Disana ku temukan Ibuku menangis sesenggukan. Aku mendekatinya. Pelan - pelan aku mempertanyakan perihal apa yang telah mengganggu hatinya. Diam. Hanya diam respon yang ia beri untukku. Aku semakin tak mengerti apa yang telah menimpa cahaya hidupku ini. Ibu... bicaralah, aku anakmu. Tetap senyap. Bergeming.

Sudah beberapa menit berlalu ketika aku duduk disampingnya dan mencoba bertanya tapi nihil. Aku tak menemukan jawaban. Mungkin karena terlalu lama menunggu, Ayahku menyambar masuk ke dalam kamarnya itu. Mendesak Ibu untuk menceritakan permasalahan yang terjadi. Kali ini Ibu bersuara. Aku bisa menyimpulkan apa yang sedah ia gundahkan.

Kau tau, ini karena adikku. Ya... Adik semata wayangku. Aku hanya hidup berdua dengannya. Dua bersaudara. Apalagi kebanggaan orangtua selain melihat anaknya bahagia? Begitu pula orang tuaku. Apapun akan mereka lakukan demi buah hati mereka. Dua. Cukup itu. Bagi mereka, tak ada kebahagiaan yang terindah ketika dapat menyenangkan anak mereka, memenuhi kebutuhan dan apa yang selalu anak inginkan.

Oh Ibuku...

Betapa kejamnya hati orang yang menyakitimu. Aku sulungmu bu. Aku kenal sekali siapa engkau dan apa yang membuatmu senyum dan membisu. Adikku ini mungkin hanya cobaanmu. Lihat bagaimana nanti Tuhan mengadili ketulusanmu.

Adikku nakal sekali. Entah. Mungkin ia terdiktator sesuatu yang membuatnya membangkang, sehingga tak pernah menuruti keinginan terbaik orangtua. Sebenarnya ia bukan gadis seperti itu. Aku sangat tau ia sedari bayi merah hingga berseragam yang membuat orangtuaku bangga. Akan tetapi ia telah beranjak remaja. Suatu masa yang dulu aku pun mengalaminya. Sulit untuk memahami kondisi pada level ini. Kebanyakan mereka yang mencapainya menganggap segala tindakan yang mereka lakukan benar. Itu menurut mereka. Dan faktanya, hampir dari prosentase menyatakan salah. Aku pun sering sekali menemukan titik kesalahanku di masa sekarang, ketika aku mengingat hal - hal yang berbau keremajaan.

Fatalnya, sekarang ia minggat. Dua hari ia tidak tidur di kamarnya yang bersebelahan dengan ruang kerjaku. Adikku... apa yang ada di fikiranmu? Ada berita dari salah satu karibnya, ia mengenal lelaki yang tidak jelas melalui jejaring sosial. Lagi - lagi kasus yang sama. Seperti pemberitaan di tv beberapa bulan lalu. Aku dan keluarga hanya mencemaskan keadaan adikku. Semoga ia tak bernasib sama dengan gadis - gadis seumurannya dlm berita itu. Aku selalu berharap Tuhan menjaganya.

Dan sekarang, hanya kurang beberapa jam memasuki bulan baru di penghujung tahun. Aku tak tahu kapan adikku pulang merasakan hangatnya keluarga lagi. Jangan bertanya mengapa kami tak mencarinya. Kami sudah lelah. Letih untuk usaha kami yang tak dihargai dan selalu diulangi berkali - kali.

Keluarga hanya berharap yang terbaik. Ibu, sudah hentikan keluh kesahmu. Biarkan alam yang memberinya pelajaran. Biar Tuhan yag memeliharanya. Berdoalah bu... Semoga adik masih mengingatmu sebagai Ibundanya. Jika ia ingin merasakan panasnya Jahannam, jangan lagi kau berdoa untuknya.

Aku disini, di detik terakhir November. Menjaga Desember agar menjadi bulan senyum untukmu bu. Ingat. Aku masih hartamu. Doaku selalu untukmu, Cahaya Keabadianku...


Selasa, 29 November 2011

Remahan Roti Coklat

Jam dinding kamar menunjukkan pukul sepuluh lewat sembilan belas menit. Di luar hujan masih saja turun dengan derasnya. Angin yang menerobos masuk melalui kisi-kisi terasa dingin menusuk kulit. Piyama yang melekat di tubuhku tidak banyak membantu menahan dingin sehingga agar lebih hangat kembali lagi ku pakai jaket tebal pemberian dari Ayahku. Agak menolong, memang.


Akan tetapi, kantuk hebat datang. Padahal besok aku harus bangun lebih pagi. Akhirnya, daripada melamun tidak menentu, kuputuskan akan melanjutkan membaca dan mengambil camilan sisa tadi siang. Sebungkus kraker coklat kesukaanku.


Sebentar … Aku baru kali ini mengunyah sepotong roti biskuit renyah yg ku dapati sudah tergerogoti. Dalam hati aku bergumun, aku berbagi makanan ini dengan siapa? Aku hanya mencicipinya beberapa potong sepulang sekolah. Oh, atau mungkin kakakku yang iseng masuk kamarku dan mengambilnya sebagian. Aku tau, dia mempunyai selera yang sama denganku. Aku menyudut. Pojokan kamarku mampu menampung air mataku yg tak sengaja tumpah. Atau mungkin sengaja ku biarkan keluar. Bulir ini jatuh bukan karena berkurangnya roti ini, akan tetapi ketika aku mengingat remuknya kisah hati.


Aku kembali ke meja belajar lamaku, kunyalakan kembali lampu belajar dan mulai membaca sambil duduk bersandar di kursi. Dengan masih ada basah di pipi yang sudah ku lap tadi, aku membaca karangan dari Pramoedya Ananta Toer. Kado darimu setahun yang lalu. Dentang jam berlalu tak terasa. Tiba-tiba kantuk hebat datang menyerang. Belum selesai kalimat yang sedang kubaca, buku yang kupegang terlepas dari tangan.


Berbaring ke peraduan ranjang reyot ukuran sekitar 2mx3m yang diletakkan sejajar dengan meja belajarku. Menerawang ke atas atap kotor dengan penuh jejaring laba - laba di sampingnya, disitu tertancap pula neon 20 watt menerangi keseluruhan kamarku, aku memikirkanmu lagi. Pertama ku jumpa, sangat jauh dari bayangku yang akhirnya kau menjaga jarak . Seperti deretan mobil di parkiran malam itu.


Ku raih kembali kraker favoritku yang belum ku habiskan. Kres kres kres. Aku tak perduli rasa pahit dari serpihan kue ini, karna ku yakin setelahnya akan manis di lidah. Tapi kemudian, aku salah menduga. Teringat kecupan hormatku di tanganmu menjadi awal & (harus) berubah menjadi akhir yang tak bahagia. Seperti rasa roti yang kering ini.


Ingin sekali aku pejamkan mataku, tapi baling - baling kipas angin kecilku seolah ikut diam. Melirikku tajam. Padahal kantuk yang teramat telah menghinggap saat waktu membaca tadi. Entah kenapa sekarang lenyap tak bersisa. Ampun rasanya. sudah lebih dari cukup aku menjilati sisa remahan rotiku, roti yg terbuat dari susu, coklat & madu. Seakan pahit rasanya di rongga mulutku.


Aku sudah lelah berusaha mencari tahu 'mengapa kau tak manis seperti dulu'. Tapi percuma. Remah rotiku hanya diam terpaku. Ku singkirkan ia di sudut pintuku. Ku harap jangan lagi kau kembali padaku dan memberikan kepalsuanmu. Cukup. Dan aku menutup kelopak mataku untuk merajut mimpi tanpa gangguanmu. Terima kasih.

ini Bali dan kami pemiliknya!

Sekitar dua minggu yang lalu kami (Keluarga Besar Pariwisata 2009-2010) mendapatkan surprise yang luar biasa dari para dosen pembimbing mata kuliah kami. Maaf, maksud saya bukan surprise, tapi hal yang sudah direncanakan sebelumnya. Waktu itu saya sempat pesimis kalau saja perihal ini batal begitu saja.

Kami mengunjungi suatu tempat wisata yang fenomenal. Maksud saya, yang takkan pernah ada habisnya. Semua orang di penjuru dunia tau, bahwa Bali adalah Surga Indonesia. Meski banyak tempat wisata baru lain yang tak kalah cantiknya, tetapi Bali akan tetap selalu menjadi destinasi favorit siapapun yang tengah berada di Republik tercinta ini.

       Quicksilver Cruise

Kali ini kami mengunjungi Pulau Nusa Penida melalui Quicksilver Cruise. Dengan mengangkat Tagline "The Jewel of Bali" Kapal pesiar ini mampu menyedot ribuan wisatawan untuk berkunjung di salah satu pulau kecil nan eksotis itu. 


Lama perjalananya sekitar 45 menit. Berbagai macam disuguhkan oleh awak Quicksilver ini. Kami lebih suka menikmati alam dan keindahan lautnya.

    Salah satu aktivitas yang dilakukan di Mega Pantoon.

Nantinya, kapal ini akan merapat ke Mega Pantoon dengan 2 lantai yang berada dekat dengan Pulau Nusa Penida. Inilah Pantoon terbesar diantara beberapa kapal pesiar yang ada di Bali. Menakjubkan! Disini banyak tersedia fasilitas" yang diperuntukkan bagi para pengunjung dan pengguna Quicksilver Cruise. Diantaranya: Snorkeling, Scuba Diving, Banana Boat, Semi Submarine, Waterslide, Ocean Spa, Jetski, dan Fish Feeding. Begitu menarik bukan?
Kami tidak sempat berfoto ria ketika bermain snorkeling, banana boat dan waterslide. Hanya beberapa ketika kami berada di Pulau Nusa Penida dan di semi Submarinenya. Berikut akan saya perlihatkan beberapa dokumentasi yang berhasil saya simpan sebagai kenang - kenangan.

      Bersama teman" ketika berada di submarine

    Pemandangan ikan" di dasar laut terlihat ketika kami masih berada di submarine

   Saya. Tak terlalu jelas fotonya hehe :p

    Teman" tercinta (masih) di dalam submarine 

    Saya. Belum sepenuhnya siap sudah di cekrik saja :))

   Menu Lunch Buffet. Ini tidak semuanya sempat saya potret. Masih banyak lagi.

   Yang ini adalah transportasi menuju ke Pulau Nusa Penida transfer dari Mega Pantoon

   Kawan terbaik saya! Menikmati posenya kala di pesisir Nusa Penida

Benar - benar pengalaman yang tak terlupakan bagi kami. Saya sempat mengobrol dengan salah satu pengunjung dan penikmat fasilitas Quicksilver ini, sayangnya tidak ada dokumentasi antara saya dengannya. Mungkin ada tetapi filenya di Pak Harun selaku Tour Leader kami ketika itu. Kebanyakan memang orang" Etnis chinesse yang mengunjungi Pulau tersebut.
Dan inilah, akhir dari perjalanan kami menyusuri Pulau Nusa Penida dengan Quicksilver Cruise sebagai pendampingnya.
  Saya. Sebelum kembali ke bus dan kembali ke Hotel tempat saya dan kawan" menginap :)


Bali, 15 November 2011

Lenyap Tak Bersisa

Hilang. Aku usik keberadaanya yang musnah tanpa pamit padaku.

Samasekali tak bersisa. Aku hanya terpekur dan sesekali bernafas berat. Sesak. Ku fikir ini hanya mimpi buruk yang tak nyata. Seliweran seperti rasa kantuk.
Adakah kau yang disana mengingat betapa banyak goresan yang ku buat di lubuk hidupmu?
Ataukah sekali saja kau tengok aku sebagai pemilik kehidupanmu di berjuta abad kelak?

Sunyi senyap.

Baru beberapa jam lamanya aku memegangmu di jantungku, kini kau lenyap.
Memudar. Tak pernah kau tinggalkan asa yang bingar.

Mana catatanku yang lainnya? Ku cari berpeluh keringat namun aku masih tetap linglung. Tak dapat meneruskan pencarianku bahkan jika itu hanya seujung timun.
Kesanggupanku berhenti ketika aku menemukan lembar baru yang siap menampung segala kerinduanku.. Segala kemunafikanku. Segala kekhawatiranku.

Dan aku akan mati. Esok hari.




Surabaya, 29 November
Rumah Keluarga tercinta di ruang tamu yang hangat meredam...

ABANG

Hingarnya malam itu kian menjadi.

Aku tersudut di pojokan kamar pribadiku, sesengguk. Mengais isi dalam jiwa ini.
Kerontang, bahkan tak layak disebut nurani.

Sembari mengelap buih yang sengaja ku jatuhkan. Aku mungkin akan mengeluarkanya lagi sebutir dua butir bila perlu. Tapi aku tertelan jaraknya rindu.

Ah, apa yang ku coret ini? Ungkapan kasih atau hanya caci maki diri?

Abang,
Beberapa bulan yang lalu aku mengenalmu. Mencoba mencari tahu siapa sosok yang tak sengaja ku kenal di lorong waktu semu. Menelaah kembali apa maksud kehadiranmu di aturan nafasku. Semuanya bergejolak. Aku entah dirimu yang memulai robekan kisah pahit atau sedikit tak manis ini.

Benar" aneh.

Tiba" secara cepat menjalar asap diatas perbukitan usia.
Jauh. Saat aku tengah menengadah tangan, kau datang membawa sekantong bunga harum yang akan layu.
Tak lama. Pasti akan mati.

Belum ku usaikan mimpi ini, belum.
Ku beri jeda agar ku mampu menghirup aroma tubuhmu, disiang dan malamku nanti.



Surabaya, 29 November 2011

Awalan yang (mungkin) Baik

Sejenak,
Aku melirik ke sebuah akun menarik yang berantai. Sedikit terinspirasi diriku olehnya, tapi aku tertegun.
Bukan karena aku tak mampu lagi membacanya, tetapi malu menghampiriku seraya terbahak.


Aku ringkih.
Tersudut menanti hati yang telah mati.


Suatu ketika aku melihat bulu daun yang terkesibak angin.
Semilir... Hingga ujungnya menghilang ditelan bibir lautan. Aku tak tau mengapa.
Yang ku tau hanya jejak musnahnya.


Entah.


Atau ini yang ku sebut derita?


Kembali memukau kala ku baca tiap larik kata di dalam akun tadi.
Hanya sekelumit yang dapat ku hisap pengertiannya, namun aku tersedak ketika menghirup maknanya!


Kemarin aku membuat sebuah pernyataan fantastis, yang aku pun tak mengerti maksudku ini.


Perlahan ku buka lagi lembar demi lembar usang,
Ku eja per hurufnya dengan kedunguanku!
Dan inilah, aku kembali menggilitik tangan dan otakku.


Aku menuangkannya disini, bersamaan dengan waktu...






Surabaya, 00.03 WIB