Selasa, 29 November 2011

Remahan Roti Coklat

Jam dinding kamar menunjukkan pukul sepuluh lewat sembilan belas menit. Di luar hujan masih saja turun dengan derasnya. Angin yang menerobos masuk melalui kisi-kisi terasa dingin menusuk kulit. Piyama yang melekat di tubuhku tidak banyak membantu menahan dingin sehingga agar lebih hangat kembali lagi ku pakai jaket tebal pemberian dari Ayahku. Agak menolong, memang.


Akan tetapi, kantuk hebat datang. Padahal besok aku harus bangun lebih pagi. Akhirnya, daripada melamun tidak menentu, kuputuskan akan melanjutkan membaca dan mengambil camilan sisa tadi siang. Sebungkus kraker coklat kesukaanku.


Sebentar … Aku baru kali ini mengunyah sepotong roti biskuit renyah yg ku dapati sudah tergerogoti. Dalam hati aku bergumun, aku berbagi makanan ini dengan siapa? Aku hanya mencicipinya beberapa potong sepulang sekolah. Oh, atau mungkin kakakku yang iseng masuk kamarku dan mengambilnya sebagian. Aku tau, dia mempunyai selera yang sama denganku. Aku menyudut. Pojokan kamarku mampu menampung air mataku yg tak sengaja tumpah. Atau mungkin sengaja ku biarkan keluar. Bulir ini jatuh bukan karena berkurangnya roti ini, akan tetapi ketika aku mengingat remuknya kisah hati.


Aku kembali ke meja belajar lamaku, kunyalakan kembali lampu belajar dan mulai membaca sambil duduk bersandar di kursi. Dengan masih ada basah di pipi yang sudah ku lap tadi, aku membaca karangan dari Pramoedya Ananta Toer. Kado darimu setahun yang lalu. Dentang jam berlalu tak terasa. Tiba-tiba kantuk hebat datang menyerang. Belum selesai kalimat yang sedang kubaca, buku yang kupegang terlepas dari tangan.


Berbaring ke peraduan ranjang reyot ukuran sekitar 2mx3m yang diletakkan sejajar dengan meja belajarku. Menerawang ke atas atap kotor dengan penuh jejaring laba - laba di sampingnya, disitu tertancap pula neon 20 watt menerangi keseluruhan kamarku, aku memikirkanmu lagi. Pertama ku jumpa, sangat jauh dari bayangku yang akhirnya kau menjaga jarak . Seperti deretan mobil di parkiran malam itu.


Ku raih kembali kraker favoritku yang belum ku habiskan. Kres kres kres. Aku tak perduli rasa pahit dari serpihan kue ini, karna ku yakin setelahnya akan manis di lidah. Tapi kemudian, aku salah menduga. Teringat kecupan hormatku di tanganmu menjadi awal & (harus) berubah menjadi akhir yang tak bahagia. Seperti rasa roti yang kering ini.


Ingin sekali aku pejamkan mataku, tapi baling - baling kipas angin kecilku seolah ikut diam. Melirikku tajam. Padahal kantuk yang teramat telah menghinggap saat waktu membaca tadi. Entah kenapa sekarang lenyap tak bersisa. Ampun rasanya. sudah lebih dari cukup aku menjilati sisa remahan rotiku, roti yg terbuat dari susu, coklat & madu. Seakan pahit rasanya di rongga mulutku.


Aku sudah lelah berusaha mencari tahu 'mengapa kau tak manis seperti dulu'. Tapi percuma. Remah rotiku hanya diam terpaku. Ku singkirkan ia di sudut pintuku. Ku harap jangan lagi kau kembali padaku dan memberikan kepalsuanmu. Cukup. Dan aku menutup kelopak mataku untuk merajut mimpi tanpa gangguanmu. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar