Minggu, 04 Desember 2011

Ibu. Tak habis kata untukmu..

Surabaya, Kota Pahlawan dengan berjuta Pahlawan didalamnya,
04 Desember 2011


Teruntuk obat segala laraku,
Segala penawar dalam kejenuhanku,
Segala penyejuk dalam kesempitan masalahku...


Ibu,
Sepucuk surat tak bermakna ini ku persembahkan untukmu. Sungguh tiada berarti bagimu. Tapi setidaknya sedikit pertunjukkan agar kau tau betapa aku mencintaimu.


Sewaktu itu aku melihatmu tergeletak. Aku lelah sepulang dari kerja penatku. Ibu, aku tak tahu apa yang terjadi denganmu. Satu kesalahan ketika itu adalah aku mengabaikan teleponmu di ponselku maghrib tadi. Aku sedang di jalan, bu. Tak baik mengganggu konsentrasi ketika di jalanan yang tentu saja kau tau betapa sesaknya. Ku coba tenangkan diri dan mendekatimu seraya meminta maaf atas tak hiraukannya panggilanmu. Namun kau malah tersedu memelukku.


Hari itu kau ketakutan karena penyakitmu. Ibuku, aku yang lebih takut seharusnya. Takut ketika aku melihat raut keriput di wajahmu yang kian menyeruak. Takut ketika suatu saat aku harus rela melepasmu karena Allah menginginkanmu kembali ke pelukan abadinya. Takut ketika aku tak dapat lagi memberimu senyum yang selalu kau tebarkan di hari - hari sunyiku. Ibu, aku terlalu takut kehilanganmu...


Cahaya hatiku,
Demi Allah... Jangan biarkan aku menyesal seumur hidupku karena tak bisa membuatmu bangga pernah melahirkan anak sepertiku. Aku ini tak pernah bisa mengerti apa keinginanmu. Tak dapat mengetahui sejauh apa cinta tulusmu itu untukku. Aku ini anak macam apa. Tapi Ibu, sejujurnya aku tak mampu menyembunyikan perasaan cintaku yang teramat padamu. 


Sungguhpun aku ingin bersujud meminta maafmu, bu.
Aku tak kuasa menahan segala gejolak cinta dalam benakku di pangkuan semestamu. Di pelukan hangatmu itu. Begitu banyak torehan dosa yang ku lukis di kalbumu. Aku tau itu sangat sakit. Terkoyak dan perih. Aku rapuh bu, seandainya kau tau. Dan bodohnya aku yang telah melakukannya dengan sadar padamu saat itu. 


Gusti...
Ampuni dosa Ibuku... Ayahku... Dan semua orang - orang yang ku sayangi.


Aku tak dapat berbuat banyak selayak engkau, Penyembuh Laraku.


Hanya beberapa tingkah yang akupun ingin kau liat bagaimana aku melakukannya. Benar - benar munafik orang sepertiku, bu. Tapi aku buah hatimu. Aku ingin sekali berada dalam dekapanmu seperti bayi dulu. Berada dalam rahim hangatmu ketika masih bersemayam orokku. Dan Ibu, lagi - lagi aku tak dapat membalas sepadan dengan apa yang kau kasih dulu.


Kini aku beranjak dewasa bu. Dan kelak aku juga akan menjadi seorang Ibu sepertimu. Menjadi sosok orangtua perempuan yang selalu dan selalu akan memberi kasih sayang untuk buah hatinya. Tapi bisakah aku berlaku baik dan seadil dirimu?


Ibu...
Aku menyesal sekali kala ku ingat segala apa yang pernah aku lakukan padamu.
Amat menyesal...


Apa yang harus ku lakukan untuk tebusan ampunanku bu? Ridho Allah ada padamu... Kemarahanmu adalah       luka bagiku. Dan akan menjadi tamparan keras Tuha untukku bu... Maafkan aku.


Aku tak ingin kehilanganmu bu. Sama sekali tak pernah siap jika kau harus memenuhi panggilan Allah nanti. Siapa yang akan meneguhkanku? Siapa yang akan mendukungku kala aku lelah? Siapa yang nanti memberiku semangat ketika aku tak mampu lagi berjalan? Siapa tempat labuhan tangisanku bu? Siapa?


Astaghfirullahaladzim...


Tak sanggup rasanya kalau saat menyedihkan itu datang. Bertubi - tubi. Allah... Apa aku mampu menyambung hidupku tanpa Ibu lagi? Ya Robbana... Kuatkan aku sepertinya yang selalu kuat kala cobaan menerpa. Aku lemah, Gusti...


Tak ada sesuatupun yang berkesan selain belaian sayangmu, bu.
Tiada satupun di dunia ini.


Ibu,
Tak akan ada yang dapat menggantikanmu di hatiku. Selalu di lubuk nurani.






                                                                                                       Anak nakalmu,
                                                                                                       Adinda kecil mungilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar